Al-Shabr
Al-Shabr (Sabar) secara bahasa menurut K. H.Ahmad Rifa’I adalah menanggung kesulitan. Sedangakan Al-Shabr menurut istilah adalah melaksanakan tiga perkara. yang petama menanggung kesulitan ibadah, memenuhi kewajiban dengan penuh ketaatan. yang ke-dua, menanggung kesulitan taubat yang benar, menjauhi perbuatan maksiat zhahir dan bathin sebatas kemampuan. Yang ke-tiga menanggung kesulitan hati ketika tertimpa musibah di dunia, kosong dari keluhan yang tidak benar.
Al-Shabr (Sabar) secara bahasa menurut K. H.Ahmad Rifa’I adalah menanggung kesulitan. Sedangakan Al-Shabr menurut istilah adalah melaksanakan tiga perkara. yang petama menanggung kesulitan ibadah, memenuhi kewajiban dengan penuh ketaatan. yang ke-dua, menanggung kesulitan taubat yang benar, menjauhi perbuatan maksiat zhahir dan bathin sebatas kemampuan. Yang ke-tiga menanggung kesulitan hati ketika tertimpa musibah di dunia, kosong dari keluhan yang tidak benar.
Sabar diartikan sebagai keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekwen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak lebih walau bagaimanapun beratnya tantangan yang dihadapi. Pantang mundur dan tak kenal menyerah, karena seorang sufi beranggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah merupakan iradah tuhan dan mengandung ujian.
Menurut al-Ghazali, yang dinamakan “sabar” adalah meninggalkan segala macam kegiatan atau pekerjaan yang dikerjakan oleh hawa nafsu, tetap pada pendirian agama yang mungkin bertentangan dengan kehendak hawa nafsu, semata-mata karena menghendaki kebahagian dunia dan akhirat.
Dari pengertian-pengertian Al-Shabr di atas dapat kita simpulkan bahwa Al-Shabr menuntut kemampuan kita menanggung kesulitan ketika kita berada pada keadaan tertentu. Misalnya dalam beribadah, kita dituntut untuk sabar dalam mengerjakannya. Dengan berbagai aturan yang melekat padanya serta berbagai ujian yang menyulitkan dalam pelaksanannya mengharuskan kita menanamkan sifat sabar dalam diri kita masing-masing. Begitu juga sabar dalam taubat, bagaimana seorang hamba yang taat kuat dalam menjauhi maksiat baik lahir maupun batin. Menjauhi sekuat tenaga hal-hal yang mendorong akan perbuatan maksiat meskipun hal yang demikian terkadang terasa sulit. Dan yang terakhir seorang hamba bersabar saat tertimpa musibah. Bagaimana ia menanggung kesulitan dalam keadaan demikian serta mampu menyikapinya dengan keadaan hati yang jauh daripada mengeluh yang tidak dibenarkan.
Dari pengertian-pengertian Al-Shabr di atas dapat kita simpulkan bahwa Al-Shabr menuntut kemampuan kita menanggung kesulitan ketika kita berada pada keadaan tertentu. Misalnya dalam beribadah, kita dituntut untuk sabar dalam mengerjakannya. Dengan berbagai aturan yang melekat padanya serta berbagai ujian yang menyulitkan dalam pelaksanannya mengharuskan kita menanamkan sifat sabar dalam diri kita masing-masing. Begitu juga sabar dalam taubat, bagaimana seorang hamba yang taat kuat dalam menjauhi maksiat baik lahir maupun batin. Menjauhi sekuat tenaga hal-hal yang mendorong akan perbuatan maksiat meskipun hal yang demikian terkadang terasa sulit. Dan yang terakhir seorang hamba bersabar saat tertimpa musibah. Bagaimana ia menanggung kesulitan dalam keadaan demikian serta mampu menyikapinya dengan keadaan hati yang jauh daripada mengeluh yang tidak dibenarkan.
Al-‘Ujub
Pengertian Al-‘Ujub (Ujub) secara etimologi menurut K. H.Ahmad Rifa’I adalah membanggakan diri di dalam batin. Sedangkan pengertian Al-‘Ujub menurut istilah adalah mewajibkan keselamatan badan dari siksa akhirat. Hakikat ujub adala kesombangan yang muncul dalam batin dengan dihiasi perasaan lebih sempurna dalam hal ilmu dan amal.
Pengertian Al-‘Ujub (Ujub) secara etimologi menurut K. H.Ahmad Rifa’I adalah membanggakan diri di dalam batin. Sedangkan pengertian Al-‘Ujub menurut istilah adalah mewajibkan keselamatan badan dari siksa akhirat. Hakikat ujub adala kesombangan yang muncul dalam batin dengan dihiasi perasaan lebih sempurna dalam hal ilmu dan amal.
Dari beberapa pengertian tentang Al-‘Ujub di atas dapat kita simpulkan bahwa yang dikatakan Al-‘Ujub adalah sifat bangga yang ditujukan seseorang kepada dirinya sendiri tanpa memikirkan dari siapa kesempurnaan itu ia peroleh. Orang tersebut berfikiran bahwa amal yang ia kerjakan merupakan kemampuan yang berasal darinya, bukan bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Begitu pula ilmu yang ia miliki. Seorang yang memilii sifat Al-‘Ujub merasa bahwa ilmu yang ia miliki adalah berasal dari dirinya dan tidak menyadari bahwa itu semua adalah dari Allah SWT.
Sifat Al-‘Ujub sangat berbahaya karena seseorang yang memiliki sifat ini tidak menyadari bahwa dirinya sedang berbuat Al-‘Ujub. Maka kita wajib berhati-hati akan sifat semacam ini karena Al-‘Ujub adalah perbuatan dosa yang halus dan tidak nampak oleh mata.
Komentar
Posting Komentar